Wednesday 1 November 2017

Movie Diary – October 2017 (10)

Pengabdi Setan (Sisworo Gautama Putra, 1982)

Nobar di kosan Dian bareng Nung juga dalam rangka persiapan nonton remake-nya kan... It was okay sih. Ya serem tapi ga seserem itu juga. Mungkin karena beda era juga sama diriku ya...ku tidak tumbuh dengan nonton film ini, jadi ya ga terkesan serem banget kayak yang mereka (orang-orang yang tumbuh dengan film ini) bilang.

Pengabdi Setan (Joko Anwar, 2017)

NAH INI BARU SEREM. Nonton bareng ama Nung dan Khrisna. Parah sih, aku pegangan dan ngerangkul Nung meleeee, Khrisna mo digeret-geret gabisa wong dia sendiri malah sembunyi di balik hoodie-nya. Taeeeee, lanang dewe padahal -_- Tapi asli, serem, soale deket dengan kehidupan nyata masyarakat endonesa kan. Selama 2 hari habis nonton film ini aku oraiso turu dengan lampu mati, kebayang. Hari-hari setelahnya bisa dimatiin, tapi lampu kamar mandi harus nyala. Hadeeeeh, segitu banget efeknya. Yha lebih karena aku jirih (tapi suka film horor) ajasih. Plotnya cukup menarik dan bikin penasaran lebih jauh sama back story-nya. Sinematografi pun ciamik rasanya. Lumayan mantap laaa~

Little Sister (Zach Clark, 2016)

Selalu suka film kayak gini, yang, yaudah, it's about life. It's real, dan digarap dengan bagus, plot ceritanya oke, akting oke, character development pun oke dan masuk akal. Ada quote dari ibunya si tokoh utama (mbak berambut pink di atas) di salah satu scene yang cukup emosyenel:
Colleen, when I was your age, I thought having a kid would make me an adult, that it was going to give me some kind of purpose, some sense of direction, but, um, it didn’t, not really. And neither did having another one. And, um, I got older, and there was more and more responsibility, and then that just never went away, and it got harder and harder, and… And, um… I found myself becoming very sad. And when I was at my saddest, I just wanted to go to sleep and not wake up, just sleep. And that didn’t happen either. No matter how hard I tried, I just kept waking up and waking up and waking up. And then I tried something different. I didn’t get that moment, Colleen, where everything was just suddenly okay. I don’t think those moments exist. I think all you can do is keep trying and hope that somehow trying can be good enough. 
Kapan Kawin? (Ody C. Harahap, 2015)

Mmmmmh, biasa aja sik cem ftv. Sorry...not sorry? Ku lebih suka beberapa film Ody C. Harahap yang lain deh.

It's Complicated (Nancy Meyers, 2009)

Ini juga byasa ja. Romcom buat ditonton waktu santae dan selow.

Kartini (Hanung Bramantyo, 2017)

Aku gatau apakah secara sejarah ini akurat apa ga (semoga sih iya), tapi sangat menikmati walo ada kurang sregnya sana-sini. Seneng aja lihat perjuangan perempuan zaman segitu. Mantap, ibu kita Kartini!!!!

Thor: Ragnarok (Taika -freaking- Waititi, 2017)

AKHIRNYAAAAAAAAAAAAA!!!!!!! Aku nga suka Thor awalnya, karena yah ga segitu menarik aja untukku. 2 film Thor pun berasa meh aja. Suka cuma ama Loki wqwqwq. Tapi ketika tau kalo sutradara favorit akoh mau bikin film ketiga ini, WAAAAAAAAAAAAAAA LANGSUNG EXCITED!!!! Senang kan, Taika bakal dapet recognition dari mana-mana habis ini pasti. Trus duit dari sukses film ini kan semoga bisa dipake buat film-film dia selanjutnya yang jelas akan selalu kutunggu-tunggu uwwww <3 Taika pun berhasil membuatku suka sama Thor di film ini, dan pokoknya suka semua sih dari installment Thor yang ini. Mungkin karena dapet sutradara macem Taika yang begitu lovable, tokoh Thor pun jadi kayak lebih goofy dan menyenangkan gitu. Suka suka suka pokoknya!! Nih film kacaw banget, gila-gilaan, tapi jelas in a good way. Nonton langsung waktu tayang pertama dong, ama Dian dan Upik.

Posesif (Edwin, 2017)

Mixed feelings nontonnya. Serem banget menurutku, karena di sekitarku aja emang beneran ada cerita-cerita macem gini. Sinematografi cantik, sontrek enak. Tapi dialognya kadang terlalu ftv gitu wat guwe wkwkwk, soalnya w sukanya tuh film yang ga krasa kalo itu film gitu lho. Get what I mean? Dialognya mbok ya dibikin kayak beneran, jangan terlalu...kaku dan wagu gitu. Ku ga tau, apa di bagian endonesa lain ada ya yang kalo ngomong begitu banget? Ini sih salah satu kurangnya dunia perfilman endonesa buatku, dialog-dialognya tuh lhowwww. Kebetulan lagi gabisa inget sih tapi, apakah ada film yang menurutku dialognya terasa nyata wkwkw :p jangan-jangan malah belum ada lol. Mbuh lali pokoke ngono. Trus karakterisasinya, di sini dikasih back story dikit kenapa si Yudhis orangnya begitu. Yaaa, oke pasti ada alasannya, tapi... Aku personally takutnya, para remaja yang nonton ini jadi kayak, akan permisif kalo nemu orang macem dia. Apalagi, endingnya bukan Lala yang akhirnya ambil sikap mengenai Yudhis yang begitu, bukan dia yang terbuka matanya sendiri. Back story segimana sedih dan ngerinya, ya tetep nggak jadi alasan untuk perbuatan Yudhis menjadi sesuatu yang bisa diterima dong. Tapi sebenernya, dalam kenyataan emang banyak banget sih Lala-Lala yang lain. Apa mungkin malah ini yang pingin digambarkan sama para pembuat filmnya dengan cerita dan karakter yang begitu? Bahwa kadang emang korban akan bener-bener buta, dan kemudian mengalami Stockholm syndrome? Mungkin... Malah tambah serem rasanya kalo itu tujuan aslinya ya. Tapi kekhawatiran w tetep ada, apalagi pas aku nonton, ada momen-momen yang menurutku ngeri banget (mostly because it's so freakin real!!!), dan penonton lain malah ketawa. Wadaawwwww?!?!?! Sedih akutu. Terlepas dari film tapi masih satu topik dengan plotnya, orang-orang di hidupku banyak yang kayak Lala. Terjebak di sebuah hubungan yang jelas-jelas ga sehat, destruktif, tapi menolak untuk diselamatkan dengan berbagai alasan yang, waduh bernada Stockholm syndrome banget. Ini susahnya. Sebagai teman, lagi-lagi, sedih akutu. Ya kita gabisa ngapa-ngapain lagi kalo merekanya aja gamau ditolong dan malah memilih untuk terus jadi korban. Yowes mbuhlah.


Bulan ini menonton ulang juga dua film, 17 Again dan Julie & Julia.

No comments:

Post a Comment